halal bihalal
29 Syawwal 1436 H / 13 Agustus 2015
Asal-usul Halal Bihalal
Sejarah halal bihalal Sejarah asal mula
halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan
Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya) Mangkunegara I, yang terkenal dengan
sebutan Pangeran Sambernyawa.
Catatan:
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan. Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal.
Catatan:
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan. Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal.
KH Abdul Wahhab Hasbullah
Penggagas Istilah “Halal Bihalal”
Penggagas istilah "halal bi
halal" ini adalah KH Abdul Wahhab Hasbullah.
Ceritanya begini:
Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.
Ceritanya begini:
Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.
Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan
bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH. Abdul Wahhab Hasbullah ke Istana
Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik
Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno
untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri,
dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.
Lalu Bung Karno menjawab,
"Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain".
"Itu gampang", kata Kiai
Wahab. "Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka
saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya
mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk
dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga
silaturrahmi nanti kita pakai istilah 'halal bi halal'", jelas Kiai Wahab.
Dari saran Kiai Wahab itulah,
kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh
politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi
judul 'Halal bi Halal' dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai
babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Asal- usul Ucapan
TAQABBALALLAAHU MINNAA WA MINKA
Dalam Kitab Sunan Kubro, lil Baihaqi, 3/319/6519:
Dalam Kitab Sunan Kubro, lil Baihaqi, 3/319/6519:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ بْنُ عَبْدَانَ أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا أَبُوْ عَلِيٍّ : أَحْمَدُ بْنُ الْفَرَجِ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ الشَّامِيُّ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ قَالَ : لَقِيْتُ وَاثِلَةَ بْنَ الأَسْقَعِ فِى يَوْمِ عِيْدٍ فَقُلْتُ : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ : نَعَمْ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ وَاثِلَةُ : لَقِيْتُ رَسُوْلَ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمَ عِيْدٍ فَقُلْتُ : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ :« نَعَمْ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ ».
.....dari Watsilah, beliau berkata,
saya berjumpa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari raya, saya
mengucapkan: TAQABBALALLAAHU MINNAA WA MINKA, maka beliau mengucaokan: “NA’AM,
TAQABBALALLAAHU MINNAA WA MINKA”
Dalam Kitab
Fat_hul Bari 2/446:
عَنْ
جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيْدِ يَقُوْلُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ تَقَبَّلَ
اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
Dari Jubair bin Nufair, beliau
berkata: “Adalah para shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila bertemu pada hari raya, maka mereka
saling mengucapkan:
TAQABBALALLAAHU MINNAA WA MINKA (semoga Allah menerima kami dan menerima kalian)
TAQABBALALLAAHU MINNAA WA MINKA (semoga Allah menerima kami dan menerima kalian)
Perihal Maaf-Maafan
Dalam Kitab Shahih Bukhari 16/380/6534:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ قَالَ حَدَّثَنِيْ مَالِكٌ عَنْ سَعِيْدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيْهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيْهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
....dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wasallam– bersabda: “Barangsiapa yang berbuat zhalim terhadap saudaranya, maka
segeralah minta dihalalkan. Karena di akhirat tidak berguna lagi dinar dan
dirham, sebelum saudaranya mengambil kebaikan darinya. Jika ia tidak memiliki
sesuatu kebaikan, maka akan diambil untuknya keburukan dari saudaranya (orang
yang terzhalimi) itu, lalu ditimpakan kepadanya”.
hasil
putusan Sidang Komisi Organisasi dalam Muktamar Ke-33
Salah satu hasil putusan Sidang Komisi Organisasi dalam Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang, beberapa waktu lalu, adalah tentang pembatasan syarat usia maksimal menjadi anggota IPNU-IPPNU, yakni 27 tahun.
Catatan:
Draft Materi Komisi Organisasi (halaman 159)
Bab V, Pasal 19,
f. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama disingkat IPNU untuk pelajar dan santri laki-laki Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 25 (dua puluh lima) tahun.
g. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama disingkat IPPNU untuk pelajar dan santri perempuan Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 25 (dua puluh lima) tahun.
Draft Materi Komisi Organisasi (halaman 159)
Bab V, Pasal 19,
f. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama disingkat IPNU untuk pelajar dan santri laki-laki Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 25 (dua puluh lima) tahun.
g. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama disingkat IPPNU untuk pelajar dan santri perempuan Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 25 (dua puluh lima) tahun.
Wallaahu A’lam

Tidak ada komentar:
Posting Komentar